Jumat, 09 Oktober 2009

86% bayi di Indonesia tdk dpt ASI Exklusif

Hanya 14% ibu di Tanah Air yang memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan. Hasil yang dikeluarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) periode 1997-2003 cukup memprihatinkan. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sangat rendah.

Direktur Bina Gizi Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan (Depkes) Ina Hernawati menjelaskan, fenomena semacam itu akan berimbas buruk bagi kesehatan balita. Ia merujuk pada penelitian di Ghana, yang menunjukkan bahwa 16% kematian bayi baru lahir bisa dicegah bila bayi disusui pada hari pertama kelahiran. ''Angka harapan hidup bayi akan meningkat menjadi 22% jika bayi disusui pada 1 jam pertama setelah kelahiran,'' kata Ina di sela-sela kampanye pekan ASI eksklusif sedunia di Jakarta, kemarin.

The World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) memperkirakan 1 juta bayi dapat diselamatkan setiap tahunnya bila diberikan ASI pada 1 jam pertama kelahiran, kemudian dilanjutkan ASI eksklusif sampai dengan enam bulan. Ina menyebutkan, sejatinya kelompok masyarakat yang paling rentan terancam penyakit dan kekurangan gizi adalah ibu hamil, bayi, remaja, dan usia lanjut. Depkes mencatat, dari 10 ibu hamil di Indonesia, kira-kira ada empat ibu yang menderita anemia zat besi, dan dua ibu yang kekurangan gizi. Sementara itu, pada balita, dari 10 balita, sekitar dua sampai tiga balita menderita kekurangan gizi.

''Bila kekurangan gizi pada balita ini tidak segera diatasi, kondisi gizi buruk akan tercipta.'' Kultur sosial Pada kesempatan terpisah, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono berpendapat, faktor sosial budaya ditengarai menjadi faktor utama pada pemberian ASI eksklusif pada balita di Indonesia. Ketidaktahuan masyarakat, gencarnya promosi susu formula, dan kurangnya fasilitas tempat menyusui di tempat kerja dan publik menjadi kendala utama. ''Seharusnya tidak ada alasan lagi bagi seorang ibu untuk tidak menyusui bayinya,'' kata Meutia. Ia mengatakan faktor sosial budaya berupa dukungan suami terhadap pemberian ASI eksklusif menjadi faktor kunci kesadaran sang ibu untuk memberikan gizi terbaik bagi bayinya.

''Dukungan suami terhadap ibu untuk menyusui harus ditingkatkan. Keluarga dan masyarakat juga harus memberikan arahan dan ruang bagi ibu menyusui,'' jelas Meutia. Pasalnya, minimnya dukungan keluarga dan suami membuat ibu sering kali tidak semangat memberikan ASI kepada bayinya. Tidak sedikit bayi baru berumur dua bulan sudah diberi makanan pendamping karena ketidaktahuan ibu terhadap manfaat ASI. Berdasarkan riset yang sudah dibuktikan di seluruh dunia, ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi hingga enam bulan, dan disempurnakan hingga umur dua tahun.

ASI, selain mengandung gizi yang cukup lengkap, mengandung imun untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit buang air besar. Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi pun rawan diare. Kandungan gizinya pun tidak sama dengan kandungan gizi pada ASI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar